Uskup Agung Ende Mgr Paulus Budi Kleden dengan tegas menyatakan penolakan terhadap kehadiran proyek Geotermal di Pulau Flores, NTT.
Uskup Agung Ende. |
SIANAKAREN.COM -- Uskup Agung Ende Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD dengan tegas menyatakan penolakan terhadap kehadiran proyek Geotermal di Pulau Flores.
Penolakan ini sekaligus mempertentangkan upaya pemerintah pusat yang ingin menjadikan Pulau Flores di NTT sebagai pulau panas bumi sejak beberapa tahun 2017.
Dalam acara Natal Bersama Para Imam se-Keuskupan Agung Ende, Senin, (6/1) di Ndona, Ende, Uskup Budi Kleden mengatakan ini merupakan sikap etis Keuskupan Agung Ende (KAE).
Penolakan terhadap proyek panas bumi Flores bukannya tanpa dasar.
Menurut mantan Superior Jenderal SVD ini, pihak keuskupan telah mendengar keluhan dan aspirasi umat dari wilayah yang menjadi lokasi pengeboran panas bumi.
Menurut masyarakat, eksplorasi geotermal tidak membawa asas manfaat bagi masyarakat setempat, tetapi sebaliknya membawa petaka bagi masyarakat sekitar lokasi eksplorasi geotermal.
"Setelah mendengar sejumlah kesaksian dari sejumlah orang dari Sokoria dan Mataloko, dan pembicaraan dengan sejumlah imam, saya menentukan sikap menolak geotermal di sejumlah titik yang sudah diidentifikasi di tiga Kevikepan di Keuskupan Agung Ende," katanya.
Sikap kritis gereja lokal ini juga menjadi 'tamparan' bagi pemerintah yang saat ini juga tengah mematok tiga kabupaten di Keuskupan Agung Ende, yaitu Ende, Nagekeo dan Ngada sebagai pusat geothermal.
Atas dasar itu, Keuskupan Agung Ende merasa perlu mendorong resistensi umat dan masyarakat dengan memberikan perhatian, informasi, dan edukasi kepada masyarakat, baik secara ilmiah maupun fakta lapangan dalam bentuk kesaksian dari masyarakat yang mengalami secara langsung. Terutama masyarakat yang ada di Sokoria dan Mataloko.
"Saya meminta agar para imam di tingkat kevikepan agar berbicara tentang tema ini dan perlu bantuan hukum dari Yayasan Bantuan Hukum untuk mengatasi masalah ini," tandas mantan dosen IFTK Ledalero.
Uskup Budi Kleden menjelaskan, pasca penolakan, tim akan melakukan kajian secara ilmiah, melibatkan para pakar di bidang geologi, pemerintah, aktivis lingkungan hidup, tokoh masyarakat, serta tokoh adat yang ada di tiga kabupaten.
Sebab, berdasarkan informasi masyarakat tentang geotermal di Mataloko misalnya, eksplorasi terbengkalai, pemboran dilakukan secara membabi buta sehingga saat ini banyak sumber lumpur keluar di beberapa titik yang merusak lahan dan tanaman warga.
Belum lagi ancaman luberan lumpur panas yang berpotensi seperti Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Kasus yang sama terjadi di Sokoria, yang ada di Desa Sokoria, Kabupaten Ende.
Wilayah tersebut juga mengalami hal yang sama. Banyak tanaman warga terutama kopi yang akhirnya kering dan mati.
Diapresiasi WALHI
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI Provinsi NTT mengapresiasi sikap kritis Uskup Budi Kleden.
Kepala Divisi Advokasi WALHI NTT Yuven Nonga mengatakan, pernyataan Uskup Agung Ende itu diapresiasi, sebagai pemimpin umat beragama yang berani membuat sikap penolakan.
"Kita tahu persis bagaimana ancaman dari Geothermal itu sendiri terutama soal pengrusakan terhadap lingkungan yang adalah ruang hidup masyarakat," katanya.
Menurut Yuven, kelompok rentan seperti petani bakal terkena imbas. Sebab, pengembangan itu dilakukan oleh industri berskala besar yang rakus lahan. Dampak ke sumber air hingga perampasan lahan pertanian berpeluang terjadi.
Alibi bahwa geothermal menguntungkan masyarakat, WALHI NTT menolak itu. Justru pengembangan Geothermal itu hanya memberikan manfaat untuk segelintir orang di kelas atas bukan masyarakat.
Niat baik Uskup Budi Kleden patut didukung karena memastikan keselamatan umat di masa depan, dan harus dilakukan sejak dini oleh para pemimpin umat.
"Pernyataan dari Uskup Agung Ende ini saya pikir menjadi contoh untuk pemimpin umat di keuskupan lain, terutama di Flores. Saya pikir perlu mengambil sikap tegas dalam penyelamatan lingkungan," ujarnya.*
Sumber: MI, PK
COMMENTS