Partai politik memiliki peran dalam mengembangkan model demokrasi yang berkualitas.
Partai politik di Indonesia. |
Oleh: Ignasius Randut
Desain sistem pemilihan umum (Pemilu) pada hakikatnya bukanlah suatu pilihan di ruang hampa. Sebaliknya, formulasi sistem Pemilu sangat ditentukan oleh kebutuhan suatu negara dan sistem perwakilan politik, misalnya apa yang hendak dicapai melalui suatu Pemilu.
Diskusi mengenai Pemilu, tidak terlepas dari diskursus mengenai partai politik (parpol). Sering kali dikemukakan bahwa institusi parpol adalah pilar utama dan cermin dari suatu sistem demokrasi. Begitu penting kedudukan parpol, sering dikatakan pula, tidak ada demokrasi tanpa kehadiran parpol.
Sebagai salah satu institusi sekaligus pilar demokrasi yang tidak hanya harus ada dalam sistem demokrasi perwakilan, parpol juga dituntut untuk berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara aspirasi kepentingan rakyat dengan kebijakan pemerintah.
Sebab melalui parpol, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam mencapai kesejahteraan bersama.
Pada prinsipnya, demokrasi tidak semata-mata identik dengan jumlah parpol; seolah-olah semakin banyak jumlah parpol maka kehidupan demokrasi suatu negara semakin baik.
Karena itu diskusi mengenai parpol dan sistem kepartaian dalam hubungannya dengan efektivitas pemerintahan tidak semata-mata terkait masalah kuantitatif, melainkan juga menyangkut polarisasi ideologis di antara parpol dalam sistem kepartaian.
Dalam hubungan dengan sistem kepartaian, secara teoretik penulis mengkaji sistem demokrasi dalam pengertian dua arus utama, yakni sistem multipartai dan sistem presidensial. Kedua sistem demokrasi ini menuntut suatu format sistem kepartaian yang dianggap compatible dengannya. Dalam kaitan dengan ini, lantas sistem kepartaian macam apa yang mesti diterapkan di negara Indonesia.
Dalam tulisan ini, penulis melihat perlu untuk menganalisis lebih jauh mengenai adanya peranan penting parpol dan sistem kepartaiaan dalam merumuskan arah penataan negara Indonesia yang demokratis setelah Pemilu 2024.
Realitas dan Reformasi Parpol
Konteks historis adanya parpol di Indonesia sudah tumbuh bersamaan dengan lahirnya identitas keindonesiaan pada awal abad ke-20. Pada era ini, kususnya pada tahun 1955, setelah Indonesia benar-benar merdeka dari kekuasaan kolonial, muncul beragam ideologi dari para pendiri bangsa (Founding Fathers) tentang arah dan sistem kepartaian Indonesia.
Berbagai diskursus ini hanya menghendaki adanya suatu aktus sistem kepemerintahan yang demokratis. Sebagai negara demokrasi, kedaulatan negara selalu dan akan berada di tangan rakyat.
Dengan demikian, jelas bahwa pemerintah Indonesia mesti memberikan jaminan hukum atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab bagi seluruh rakyat Indonesia. Jaminan hukum ini dituangkan dalam Pasal 28 UUD 1945.
Dalam regulasi ini, peran parpol menjadi sangat penting dan dipertegas. Mulai dari kandidasi hingga secara definitif dipilih dalam pemilu demokratis.
Rizal Mallarangeng dalam video pembahasannya selalu menekankan suatu reformasi dari institusi partai politik. Dia menggambarkan politik sebagai kekuasaan, bahwasannya melalui kekuasaan seorang politisi secara retoris dapat mengatur dan membujuk dengan kalimat-kalimat persuatif yang dapat mengobsesi masyarakat untuk terlibat aktif dalam berpolitik.
Eksistensi parpol dalam sistem demokrasi memiliki posisi sentral dan strategis. Secara teoretik posisi sentral parpol dimungkinkan karena peran strategisnya dalam mengubah input – lazimnya berupa aspirasi dan kepentingan publik atau rakyat – menjadi output, yakni kebijakan publik yang merupakan produk parlemen, atau produk bersama antara parlemen sebagai lembaga legislatif dan pemerintah sebagai eksekutif.
Untuk itu, melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah hidupnya.
Peralihan dari sistem otoriter ke sistem demokrasi yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade diwarnai oleh buramnya kualitas politik. Ada kecenderungan pemimpin yang dipilih melalui Pemilu bertindak individualistik dan oligarkis dengan lebih mengakomodiasi kepentingan kalangan elit ketimbang rakyat. Di sisi lain, ada juga rezim politik yang membungkam daya kritis masyarakat sehingga raibnya perdebatan yang serius dalam ruang publik.
Minimnya partisipasi publik kerapkali menciptakan celah bagi parpol dan pemerintah merumuskan produk undang-undang yang tidak berpihak pada rakyat.
Distorsi politik ini disbabkan oleh lemahnya struktur dan rezim politik yang bermutu, tradisi konflik yang tidak sehat, tidak adanya disiplin organisasi, elitis, kompensasi pemerintah yang tidak stabil, serta sistem kepartaian yang tidak koheren dengan sistem pemerintahan, sistem perwakilan, dan sistem pemilu. Lantas apa yang mesti direformasi oleh partai poitik kedepannya?
Institusi-institusi demokrasi seperti parpol dan Pemilu, bagaimana pun tidak diciptakan untuk dan demi demokrasi itu sendiri, tetapi justru sebagai alat untuk mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan rakyat. Tugas dan tanggung jawab dari parpol mesti sedapat mungkin menerjemahkan apa yang menjadi keinginan masyarakat. Komitmen ideologis partai harus tersurat dalam platform partai dan sekaligus menjadi agenda parpol untuk diperjuangkan kedepannya.
Karena pilihan partai bukanlah pilihan di ruang hampa yang tidak memiliki tujuan dan orientasi, namun ada makna lain sebagai manifestasi dari makna ideologis seperti kesejahteraan ekonomi dan keamanan dalam masyarakat. Ini yang menjadi salah satu asa publik khususnya generasi penerus bangsa Indonesia untuk terlibat dalam diskursus politik.
Pemerintah yang terpilih secara definitif dalam Pemilu 2024 kelak seyogyanya bisa mereformasi realitas politik yang buruk di masa lalu sehingga tujuan serta impian dari bangsa Indonesia yang tercantum dalam mukadimah Pembukaan UUD 1945 dapat terealisasi.
Berkaitan dengan hal ini, marwah parpol sebagai jendela bagi aspirasi dan kepentingan rakyat harus dipulihkan agar demokrasi dan pemerintahan yang dihasilkan bermuara pada tegaknya kedaulatan rakyat, tercapainya keadilan, dan terwujudnya kemakmuran. Lantas apa sebenarnya esensi reformasi parpol yang hendak dicapai sebelum maupun sesudah Pemilu 2024?
Hemat penulis, sistem rekrutmen parpol mestinya lebih dipertegas, sehingga sistem demokrasi kita benar-benar menghadirkan parpol sebagai badan hukum publik yang tidak hanya perlu dikelola secara institusional, demokratis, transparan, dan akuntabel, melainkan juga memiliki standar moral dan integritas.
Dalam kaitan dengan ini, paling kurang ada dua konteks penting reformasi parpol yang perlu diwadahi melalui revisi UU Partai Politik. Pertama, terbentuknya UU yang dapat mendorong partai-partai untuk mengubah karakter internalnya sehingga terwujud partai-partai yang demokratis dan terlembaga (institutionalized). Hal ini tidak hanya meniscayakan berlangsungnya reformasi parpol yang tidak hanya mencakup demokratisasi internal dan pelembagaan empat aspek sistem integritas, tetapi juga sistem desentralisasi sebagai otoritas partai ke pengurus daerah.
Konteks kedua dari urgensi pembaharuan UU Parpol adalah terciptanya sebuah UU yang bukan hanya menjadi dasar bagi pembentukan sistem kepartaian yang dianggap tepat bagi bangsa Indonesia, melainkan juga memiliki koherensi dengan tata kelola pemerintah yang baik di satu pihak dan terbangunnya demokrasi substansial yang semakin terkonsolidasi di lain pihak.
Sistem Multipartai vs Presidensialisme
Disikusi mengenai sistem kepartaian yang sedang berlangsung di Indonesia, hampir selalu terjebak pada diskusi kuantitas partai, bahkan teoritikus klasik Maurice Duverger (1954), selalu bertendensi mengklasifikasi tipe sistem kepartaian atas dasar jumlah. Duverger membedakan sistem kepartaian atas sistem dua partai dan sistem multipartai.
Lain halnya dengan Robert A. Dahl yang cenderung mengidentifikasi sistem kepartaian atas dasar tingkat kompetisi dan oposisinya di dalam serta terhadap struktur politik yang berlaku.
Sementara itu Jean Blondel, Stein Rokkan, dan Sartori, juga mengklasifikasi sistem kepartaian berdasarkan ukuran relatif, distribusi kekuatan minoritas di dalam partai, dan juga variabel jarak ideologis antara partai di dalam sistem kepartaian.
Akhirnya muncul satu pertanyaan mendasar, sistem kepartaian seperti apa yang dianggap tepat bagi bangsa Indonesia, dalam pengertian yang memiliki koheren dengan pilihan sisitem demokrasi presidensial?
Negara Indonesia adalah negara pluralis yang terdiri dari beragam budaya, agama, ekonomi dan ideologi. Keragaman ini lahir dari faktor sejarah, keterbelakangan kultural, perpecahan politik, disparitas demografis dan sensitivitas isu minoritas-mayoritas. Realitas pluralis ini yang akhirnya turut mempengaruhi penerapan sisitem kepartaian di negara Indonesia.
Pada era pasca-Soeharto, Indonesia menerapkan sistem multipartai ekstrem, namun praksisnya sistem ini tidak compatible dengan realitas bangsa Indonesia yang menganut sistem presidensial. Hal ini kembali dipertegas oleh teoritikus perbandingan politik, bahwasannya potensi kelumpuhan ataupun jalan buntu politik deadlock akibat konflik eksekutif-legislatif semakin besar.
Ini bukan hanya karena kombinasi sistem presidensial dan multipartai menghasilkan presiden minoritas dengan basis politik kecil di parlemen, tetapi juga karena tingkat fragmentasi politik yang tinggi sehingga efektivitas pemerintah relatif sulit diwujudkan.
Secara teoretik sistem presidensial yang digabung dengan sistem multipartai merupakan kombinasi yang sulit dan berpotensi melahirkan instabilitas demokrasi.
Dalam konteks historis, kombinasi sistem ini relatif tidak bermasalah. Namun sulit dihindari bahwa memang ada gangguan DPR terhadap Presiden, seperti dialami oleh Presiden Abdurrahman Wahid ketika MPR atas usul DPR memberhentikannya dari jabatan sebagai presiden.
Namun sebagai jalan menuju efektivitas sistem demokrasi ke depan, ada beberapa upaya pola relasi presiden dan DPR yang perlu ditata kembali ke arah yang lebih konstruktif dan terbangun di atas prinsip checks and balances, baik melalui amandemen kembali konstitusi maupun melalui rekayasa institusional yang bisa diintrodusir di dalam UU bidang politik.
Pertama, memperkuat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan memberikan otoritas legislasi sehingga membetuk kesatuan parlemen yang sinergis.
Kedua, mempertimbangkan sejumlah otoritas DPR yang bisa menimbulkan distorsi presidensialisme dengan cara mengurangi kewenangan wilayah prerogatif eksekutif.
Ketiga, melembagakan sistem multipartai sederhana agar mendukung skema presidensialisme.
Keempat, melembagakan terbentuknya koalisi permanen dengan cara memperkuat ikatan koalisi semacam kontra politik.
Kelima, menata ulang format Pemilu, baik terkait kebutuhan akan berlangsungnya pemilu serentak secara nasional, maupun lokal agar menghasilkan pemerintah yang governable.
Keenam, mempertahankan pelembagaan konsultasi presiden dan DPR sebagai dari upaya minimalisasi konflik dan maksimalisasi konsesus dalam relasi eksekutif-legislatif dalam rangka stabilitas dan efektivitas demokrasi.
Apabila sistem ini lebih menghasilkan pemerintah politik-transaksional, maka hemat penulis pilihan politik yang lain ialah mengubah sistem demokrasi murni menjadi sistem semi-presidensial. Tujuannya ialah menghindari risiko deadlock dan immobilism.
Disikusi mengenai parpol tidak terlepas dari diskursus mengenai kekuasaan. Sebab esensi dasar dari politik ialah kekuasaan. Ada anggapan klasik bahwa institusi parpol adalah pilar utama dalam sistem demokrasi.
Namun sistem kepartaiannya, parpol juga dituntut untuk berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara aspirasi kepentingan rakyat dan kebijakan pemerintah. Sebab melalui parpol, rakyat dapat mewujudkan hak-haknya.
Seperti pada Pemilu 2024, peran partai politik mesti dipertegas dengan melihat kembali serta membenahi segala sesuatu yang dinilai belum efektif misalnya melalui revisi UU Partai Politik yang masih tersendat dengan tujuan mendorong partai-partai untuk mengubah karakter internalnya sehingga terwujud partai-partai yang demokratis dan terlembaga.
Pembaharuan UU parpol bukan hanya menjadi dasar bagi pembentukan sistem kepartaian yang dianggap tepat bagi bangsa Indonesia, melainkan juga memiliki koherensi dengan tata kelola pemerintah dan terbangunnya demokrasi substansial yang semakin terkonsolidasi hingga ke tingkat local.
Hemat penulis, upaya yang mesti menjadi prioritas parpol di masa depan ialah menjunjung tinggi moralitas politik. Karena suatu masyarakat hanya mungkin tertata baik kalau dibangun dalam fundamen konvensi etika dan moralitas.
Eric Weil selalu melihat politik dengan bertolak dari moralitas. Bahwasannya politik tanpa moral akan berubah makna menjadi politik tanpa obligasi, politik tanpa kewajiban.
Pada Pemilu 2024, terbangun jarak dalam proses kandidasi parpol untuk mengubah karakter internalnya. Dalam artian proses kandidasi merupakan suatu proses yang objektif, yang tidak melibatkan sentimen subjektif dan pragmatik hanya demi kekuasaan semata.
Dengan demikian rezim yang terpilih benar-benar merupakan representasi demokrasi yang secara inheren memiliki daya transformatif dan problem solving.
Patut digarisbawahi bahwa kekuasaan tidak hanya perlu dikelola secara institusional, demokratis, transparan, dan akuntabel, melainkan juga harus dilandasi oleh stadar moral tinggi.*
COMMENTS